Contohkalimat i'rob nashob dengan terbuangnya nun pada Af'alul khomsah sebagai berikut 1. نَحْنُ لَنْ يَكْتُبُوْا فِى الْمَسْجِد Artinya Kami tidak akan menulis di masjid, yaktubu menjadi nashob karena amil nawashib lan, yaktubuu asalnya yaktubuuna 2. Tauhid merupakan dasar umat Islam. Kepercayaan bahwa Allah adalah Tuhan yang satu dan merupakan satu-satunya diakui oleh semua mukmin tanpa ada pertentangan akan hal itu. Namun semua itu perlu pengenalan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. Dalam memasuki pintu keTuhanan menjadi hal yang mendalam yaitu mengenal zat, sifat, af’al dan asma’ ALLah Taala. Perlu diingat juga bahwa segala perbuatan apapun yang terjadi dan berlaku di dalam alam ini pada hakikatnya adalah Af’al Perbuatan Allah ta’ala. A. DZAT “Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali “Aku”, maka, sembahlah “Aku” Qs At Thoha 14 ayat ini menyebutkan “pribadinya” atau dzat Allah, kalimat….sembahlah “Aku”…Dzat Allah merupakan perwujudan dari adanya Allah. Sama halnya manusia ada, karena Allah dan dzat-Nya ada. Allah SWT merupakan zat pribadi dimana zat pribadi merupakan satu perwujudan yang berdiri sendiri tanpa adanya ketergantungan pada dzat yang lain. Sangat berbeda dengan manusia yang membutuhkan Allah untuk bisa hidup. Adanya alam, malaikat, jin, dan manusia itu tercipta karena adanya akibat dari adanya dzat Allah. Semua ada karena dzat yang maha Qadim. Dzat Allah SWT memiliki sifat-sifat yaitu 20 Sifat Allah yang wajib, sifat yang mustahil bagi Allah SWT, dan sifat yang ada pada dzat Allah. B. SIFAT Sebagai Sang Khalik, Allah swt memiliki sifat-sifat yang tentunya tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia ataupun makhluk lainnya. Mengenal sifat-sifat Allah dapat meningkatkan keimanan kita. Seseorang yang mengaku mengenal dan meyakini Allah itu ada namun ia tidak mengenal sifat Allah, maka ia perlu lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Sifat-sifat Allah yang wajib kita imani ada 20. C. AF’AL Af’al Allah adalah perbuatan Allah. Bahwa segala yang ada di dunia ini termasuk manusia adalah Af’al perbuatan Allah SWT. Adanya bumi, langit, manusia, malaikat, jin, surga, neraka dan yang lainnya merupakan Af’al Allah yang disediakan oleh Allah untuk manusia. Cara musyahadah menyaksikan tauhid af’al yaitu Melakukan syuhud memandang/menyaksikan dan menanamkan keyakinan dalam hati bahwa segala perbuatan yang menurut kita baik dan jahat itu semua dari Allah.“Allah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat.” ash shoffat 96 Perbuatan yang terjadi digolongkan pada Baik pada bentuk rupa dan isi hakekatnya seperti iman dan taat. Buruk pada bentuk rupa namun baik pada pengertian isi hakekat seperti kufur dan perlu digaris bawahi bahwa tidak akan ada perbuatan buruk pada diri manusia jika manusianya sendiri tidak melakukan hal yang buruk pada dirinya sendiri. D. ASMA Firman Allah SWT dalam surat Al-Araf ayat 180 “Allah mempunyai asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. Asmaaul husna secara harfiah ialah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah. Ia berkait dengan sifat dan af’al. dimana secara umum kita mengenal 99 nama Allah. Bahwa manusia hanya mampu dan hanya boleh mengenal sifat, af’al, dan Asma Allah saja. Dzat Allah tidak akan pernah mampu dicapai oleh pemikiran manusia terpintar sekalipun.“Fikirkanlah olehmu sifat ALLah dan jangankamu memikirkan akan zatNya”.Allah meliputi segala sesuatu Al fushilat 54 adalah kesempurnaan .. dzat , sifat, asma, dan af’al ContohKhutbah Jumat Singkat Terbaru: Amalan-amalan di 10 -Bismillahirrahmanirrahim- Assalamualaikum. Kaifa halukum? Diharapkan semua baik2 saja. Entri kali ini saya nak berkongsi sedikit nota PIM 3112, Pengajian Aqidah yang dipelajari pada semester yang lalu. Dah habis sem baru nak kongsi? Sebenarnya dah lama ingin berkongsi, tapi sekarang baru berpeluang untuk taip semula apa yang dipelajari. Gaya macam busy sangat je. Huuu~ Tapi xpe la kan, better late than never omputih cakap. ^_~ Semoga nota ini bermanfaat untuk adik2 junior dan kepada yang membacanya. ' *** [Af'alullah] Definisi • Setiap kejadian yang berlaku di alam ini berdasarkan dengan kehendak dan iradat Allah Taala. • Setiap manusia wajib beriman dan redha dengan segala ketetapan dan pelaksanaan Allah terhadap hambaNya. Kerana kuasa Allah adalah mutlak. Manusia juga wajib yakin dan percaya Allah melaksanakan segala-galanya dengan kuasa, ilmu, kehendak dan segala sifat kesempurnaanNya dan bukan secara sia-sia. Contoh • Kejadian siang dan malam • Bencana alam • Pasang surut lautan Dalil "Dan ingatlah tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antaranya, secara main-main." Surah al-anbiya’ 16 Kekeliruan memahami konsep af’alullah Zaman Rasulullah hingga zaman ulama’ khalaf Umat Islam beriman pada qadha’ dan qadar tanpa ada persoalan. Mereka menerima Islam dengan hati yang ikhlas. Apabila empayar islam berkembang Berlaku perbahasan falsafah dan budaya lalu menimbulkan kekeliruan terhadap konsep af’alullah. Antaranya mengenai pergerakan makhluk atau manusia. Adakah setiap gerakan tersebut atau kemahuan untuk melakukan sesuatu dikira sebagai perbuatan yang dijadikan Allah atau lahir daripada kudrat dan kekuasaan manusia itu sendiri? Pendapat Ahli Sunnah Wal Jama’ah Allah memberi kuasa memilih kepada manusia berdasarkan kepada akal dan wahyu dalam melakukan sesuatu perkara atau perbuatan. Namun, berlakunya sesuatu perkara atau perbuatan itu adalah dengan izin Allah. "Dan kamu tidak dapat menentukan kemahuan kamu mengenai sesuatupun, kecuali dengan cara yang diatur oleh Allah, Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan seluruh alam." Surah at-takwir 29 Ayat ini menunjukkan bahawa manusia mempunyai pilihan dan kehendak mereka sendiri dalam melakukan sesuatu perkara dan perbuatan yang dijadikan oleh Allah. Sekiranya Allah tidak menghendaki perkara itu terjadi, ia tidak akan terjadi dan itulah ketentuan yang ditakdirkan oleh Allah.[Af'alul Ibad] Definisi Setiap perbuatan dan tindakan manusia bergantung kepada usaha dan ikhtiar manusia • Makan • Minum • Melayari facebook Bahagian af’alul ibad • Ikhtiari Sesuatu yang berlaku atas kemahuan dan kehendak manusia itu sendiri seperti beribadah, makan, tidur. • Ijbari Sesuatu yang berlaku bukan atas kehendak dan kemahuan manusia itu sendiri seperti bersin, cacat anggota, warna berkenaan af’alul ibad • Ahli Sunnah Wal Jama’ah Allah swt menjadikan kudrat dan iradat kepada manusia, dan mereka diberi kuasa memilih untuk melakukan perkara tersebut dengan izin Allah swt. • Qadariah Manusia berkuasa penuh melakukan sesuatu perbuatan tanpa ada sebarang hubungan dengan Allah. • Mu’tazilah Manusia berkuasa penuh melakukan sebarang perbuatan dengan kudrat dan iradat yang diberikan oleh Allah swt. • Jabariah Semua perbuatan adalah dengan kehendak Allah swt semata-mata. Manusia tiada kuasa langsung dalam sesuatu perbuatan. *** Oppss panjang sangat dah ni. InshaaAllah, nota akan disambung pada entri seterusnya. Keep on reading! ' Mantap aqidah, kukuh agama. '
الطالبونلم يرتحلوا إلى سورابايا. Demikianlah beberapa contoh af'alul khamsah dalam bahasa Arab. Perlu diingat lagi bahwa fi'il yang lima ini merupakan fi'il mudhari' yang dikaitkan dengan fi'il mudhari' berbentuk tasniyah dan jama' yang dinisbahkan pada dhamir هما - هم - انتِ - انتما - انتم.
Apakah itu Af’al al-Qulub? Pernahkah anda mendengar istilah Af’al al-Qulub dalam ilmu Nahwu? Dari namanya kita bisa menebak bahwa ia adalah fi’il yang berhubungan dengan hati, tapi apa sebenarnya af’al al-qulub itu? Pengertian Af’al al-Qulub Af’al al-Qulub berasal dari kata af’al pekerjaan-pekerjaan dan al-qulub beberapa hati. Ia merupakan fi’il yang dilakukan dan dirasakan oleh indra bathin hati yang me-nashab-kan dua maf’ul yang berasal dari susunan mubtada’ khabar. BACA JUGA FI’IL MUTA’ADDI DAN FI’IL LAZIM Af’al al-Qulub berjumlah 14, di antaranya adalah رَأَى ,عَلِمَ ,دَرَى ,وَجَدَ ,أَلْفَى ,تَعَلَّمْ ,ظَنَّ ,خَالَ ,حَسِبَ ,جَعَلَ ,حَجَا ,عَدَّ ,زَعَمَ ,هَبْ Fi’il-fi’il ini disebut sebagai “Af’al al-Qulub” karena ia merupakan pekerjaan yang dilakukan dan dirasakan oleh indra bathin, maka dari itu, makna-maknanya berada pada hati al-qulub. Namun tidak semua fi’il qalbiy yang berhubungan dengan hati me-nashab-kan dua maf’ul, melainkan di antaranya ada yang me-nashab-kan satu maf’ul seperti عَرَفَ dan فَهِمَ tahu dan paham. Dan adapula yang berhukum lazim tidak memiliki maf’ul seperti حَزُنَ dan جَبُنَ sedih dan takut. Adapun yang dimaksud dengan asal maf’ul merupakan mubtada’ khabar bisa kita lihat pada contoh di bawah ini ظَنَنْتُ زَيْدًا مُسَافِرًا Aku mengira Zaid adalah orang bepergian Contoh di atas berasal dari susunan mubtada’ khobar berikut زَيْدٌ مُسَافِرٌ Zaid adalah orang yang bepergian Menghapus kedua atau salah satu maf’ul Af’al al-Qulub Tidak boleh menghapus kedua maf’ul atau salah satu maf’ul af’al al-qulub dengan alasan iqtishar merasa cukup, dalam artian tanpa dalil. Namun jika ada dalil dengan alasan ikhtishar, yakni meringkas, maka boleh menghapus kedua maf’ul atau salah satunya. Contoh terhapusnya dua maf’ul karena ada dalil adalah sebagai berikut Ketika ada yang bertanya هَلْ ظَنَنْتَ خَالِدًا مُسَافِرًا؟ Apakah kamu mengira khalid adalah orang yang bepergian? Kemudian yang ditanya menjawab ظَنَنْتُ Aku telah mengira Maksudnya adalah ظَنَنْتُهُ مُسَافِرًا Aku telah mengiranya khalid orang yang bepergian Ada juga contoh dari al-Qur’an أَيْنَ شُرَكَاءِيَ الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تَزْعُمُوْنَ – القصص 62 Artinya Di mana sekutu-sekutuKu yang engkau yakini اي كُنْتُمْ تَزْعُمُوْنَهُمْ شُرَكَاءِيْ Maksudnya kamu yakin mereka sekutu-sekutuKu Dan contoh dari kata-kata bijak مَنْ يَسْمَعْ يَخَلْ Barangsiapa mendengar maka menyangka اي يَخَلْ مَا يَسْمَعُهُ حَقًّا Maksudnya menyangka apa yang ia dengar sebagai kebenaran Sedangkan contoh terhapusnya satu maf’ul karena ada dalil sebagai berikut Ketika ada yang bertanya هَلْ تَظُنُّ أَحَدًا مُسَافِرًا؟ Apakah kamu mengira seseorang adalah orang yang bepergian? Kemudian seseorang menjawab أَظُنُّ خَالِدًا Aku mengira Khalid اي أَظُنُّ خَالِدًا مُسَافِرًا Maksudnya Aku mengira Khalid adalah orang yang bepergian Namun jika tidak ada dalil yang menunjukkan pada maf’ul yang terhapus maka tidak diperbolehkan menghapus kedua maf’ul atau salah satunya. Inilah pendapat shahih dari beberapa madzhab ulama’ nahwu. Macam-macam Af’al al-Qulub Kemudian, af’al al-qulub dibagi menjadi dua macam Pertama, af’al al-yaqin أفعال اليقين, yang menunjukkan pada keyakinan kepercayaan yang mantap. Kedua, af’al adh-dhann أفعال الظنّ, yang menunjukkan pada dugaan cenderung/condong pada salah satu kemungkinan. Af’al al-Yaqin أفعال اليقين Af’al al-yaqin أفعال اليقين ada 6, yaitu رَأَىعَلِمَدَرَىتَعَلَّمْوَجَدَأَلْفَى Adapun penjelasannya sebagai berikut 1. رَأَى رَأَى yang bermakna عَلِمَ وَاعْتَقَدَ tahu dan meyakini نحو رَأَيْتُ زَيْدًا مُعَلِّمًا Aku tahu dan yakin bahwa Zaid adalah seorang guru Tidak ada perbedaan antara keyakinan yang sesuai dengan kenyataan dan keyakinan yang berdasar atas kepercayaan yang mantap saja, walaupun keyakinan tersebut berbeda dengan kenyataan. Karena keyakinan itu dinisbatkan/dikembalikan kepada orang yang memiliki keyakinan tersebut. Sebagaimana contoh dalam al-Qur’an. إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا ۝ وَنَرٰىهُ قَرِيْبًا ۝ – المعارج ٧-٦ Artinya Sesungguhnya mereka orang-orang kafir meyakininya ba’ts/kebangkitan jauh tercegah dan kita meyakininya ba’ts dekat terjadi/nyata. رَأَى yang bermakna selain عَلِمَ وَاعْتَقَدَ رَأَى yang bermakna الْحِلْمِيَّة bermimpi juga me-nashab-kan dua maf’ul. رَأَى ini memiliki mashdar الرُّأْيَا mimpi/penglihatan saat tidur dan me-nashab-kan dua maf’ul karena juga termasuk pekerjaan yang dilakukan dan dirasakan oleh indra bathin. Contohnya sebagai berikut إِنِّيْ أَرٰىنِيْ أَعْصِرُ خَمْرًا – يوسف ٣٦ Artinya Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku memeras khamr Maf’ul yang pertama pada contoh ayat tersebut adalah ya’ mutakallim dan maf’ul keduanya adalah jumlah “أَعْصِرُ خَمْرًا” Namun jika رَأَى adalah بَصَرِيَّة yang bermakna “أًبْصَرَ وَرَأَى بِعَيْنِهِ melihat dengan matanya”, maka ia hanya muta’addi pada satu maf’ul. نحو رَأَيْتُ زَيْدًا Aku telah melihat Zaid رَأَى yang bermakna “إِصَابَةُ الرِّئَةِ” mengenai paru-paru juga muta’addi pada satu maf’ul. نحو ضَرَبَهُ فَرَأَىهُ Aku memukulnya lalu aku mengenai paru-paru-nya 2. عَلِمَ عَلِمَ yang bermakna اعْتَقَدَ yakin muta’addi sampai dua maf’ul. نحو فَإِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ – الممتحنة ١٠ Artinya “Lalu jika kalian yakin bahwa mereka perempuan-perempuan berhijrah adalah orang-orang beriman…” عَلِمَ yang bermakna selain اعْتَقَدَ Apabila عَلِمَ bermakna عَرَفَ mengerti maka ia hanya muta’addi sampai dengan satu maf’ul. نحو عَلِمْتُ الْأَمْرَ Aku telah mengetahui perkara tersebut وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا – النحل ٧٨ Artinya “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dengan keadaan kalian tidak mengetahui sesuatu” Dan apabila عَلِمَ bermakna شَعَرَ , أَحَاطَ , أَدْرَكَ merasa, meliputi, dan menyampaikan maka ia muta’addi sampai satu maf’ul dengan dirinya sendiri atau dengan perantara huruf ب ba’. نحو عَلِمْتُ الشَّيْئَ / عَلِمْتُ بِالشَّيْئِ Aku telah merasakan sesuatu 3. دَرَى دَرَى yang bermakna عَلِمَ عِلْمَ اعْتِقَادٍ mengetahui dengan pengetahuan keyakinan me-nashab-kan dua maf’ul sebagaimana contoh berikut دَرَيْتُكَ مُجْتَهِدٌ Aku telah mengetahui dengan pengetahuan keyakinan bahwa kamu adalah orang yang rajin Atau bisa kita lihat pada contoh syiir bahar thawil berikut دُرِيْتَ الْوَفِيَّ الْعَهْدَ يَا عَمْرُو فَاغْتَبِطْ فَإِنَّ اغْتِبَاطًا بِالْوَفَاءِ حَمِيْدُ Artinya Telah diketahui dengan pengetahuan keyakinan bahwa engkau adalah orang yang menepati janji Wahai Amr, maka bergembiralah! Sesungguhnya bergembira sebab memenuhi janji itu terpuji Catatan Pada syair tersebut memang “دَرَى” bentuknya bina’ majhul sehingga “تَ” pada “دُرِيْتَ” adalah maf’ul pertama yang berdiri sebagai naib fa’il dan “الْوَفِيَّ” adalah maf’ul kedua yang berdiri sebagai maf’ul pertama. Namun yang sering kali dilakukan pada penggunaan “دَرَى” adalah ia muta’addi kepada satu maf’ul dengan perantara huruf ba’, misalnya دَرَيْتُ بِالشَّيْءِ aku mengetahui sesuatu. دَرَى dengan makna lain Namun apabila دَرَى bermakna “خَتَلَ” memperdaya, maka ia muta’addi sampai satu maf’ul saja, misal دَرَيْتُ الصَّيْدَ aku telah memperdaya binatang buruan. Dan apabila دَرَى bermakna “حَكَّ” menggaruk/menyisir, maka ia juga muta’addi sampai satu maf’ul saja. Misalnya دَرَيْتُ رَأْسِيْ بِالْمِدْرَى aku telah menyisir kepalaku dengan sisir. 4. تَعَلَّمْ تَعَلَّمْ yang bermakna اعْلَمْ وَاعْتَقِدْ ketahuilah dan yakinlah! muta’addi sampai dua maf’ul. Sebagaimana pada syi’ir bahar thawil berikut نحو تَعَلَّمْ شِفَاءَ النَّفْسِ قَهْرَ عَدُوِّهَا فَبَالِغْ بِلُطْفٍ فِي التَّحَيُّلِ وَالْمَكْرِ Yakinlah! sembuhnya hati itu menundukkan musuhnya Maka sampaikanlah dengan lembut dalam siasat dan muslihat Namun penggunaan تَعَلَّمْ dengan diikuti “أَنَّ وَصِلَتُهَا” anna dan shilah/jumlah yang terhubung dengannya lebih banyak dan lebih masyhur. Misalnya pada syiir bahar wafir berikut تَعَلَّمْ أَنَّ خَيْرَ النَّاسِ مَيْتٌ عَلَى جِفْرِ الْهَبَاءَةِ لَا يَرِيْمُ Yakinlah sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah orang mati Yang tidak meninggalkan Jifr al-Haba’ah rawa di Negara Ghathfan تَعَلَّمْ dengan makna lain Apabila تَعَلَّمْ merupakan amr/perintah dari fiil “تَعَلَّمَ يَتَعَلَّمُ” belajar maka ia hanya muta’addi sampai satu maf’ul saja. نحو تَعَلَّمُوْا الْعَرَبِيَّةَ وَعَلِّمُوْهَا النَّاسَ Belajarlah Bahasa Arab dan ajarkanlah Bahasa Arab tersebut kepada manusia! 5. وَجَدَ وَجَدَ yang bermakna عَلِمَ وَاعْتَقَدَ tahu dan yakin muta’addi sampai dua maf’ul. Sedangkan mashdar dari fi’il ini adalah الْوُجُوْدُ وَالْوِجْدَانُ . نحو وَجَدْتُ الصِّدْقَ زِيْنَةَ الْعُقَلَاءِ Aku yakin dengan pengetahuan keyakinan bahwa kejujuran adalah perhiasan orang-orang yang berakal وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفٰسِقِيْنَ – الأعراف ١٠٢ Sesungguhnya Kami yakin bahwa kebanyakan dari mereka sungguh orang-orang fasiq وجد dengan makna lain وجد dengan makna lain dengan makna di atas pengetahuan keyakinan tidak termasuk af’al al-qulub. Contohnya seperti Bermakna “mengenai dan mendapatkan sesuatu setelah kehilangannya” وَجَدْتُ الْكِتَابَ وُجُوْدًا وَوِجْدَانًا Aku menemukan kitab dengan sebenar-benarnya penemuan Bermakna “dendam dan marah” وَجَدَ عَلَيْهِ مَوْجِدَةً Aku marah padanya dengan sebenar-benarnya marah إِنِّيْ سَائِلُكَ فَلَا تَجِدْ عَلَيَّ Sesungguhnya aku adalah orang yang bertanya padamu maka janganlah engkau marah padaku Bermakna “sedih” atau “suka” وَجَدَ بِهِ وَجْدًا Aku sedih padanya dengan sebenar-benarnya sedih وَجَدَ بِهِ وَجْدًا Aku suka dengannya dengan sebenar-benarnya suka Bermakna “merasa cukup” وَجَدَ جِدَةً Aku merasa cukup dengan sebenar-benarnya rasa cukup 6. أَلْفَى أَلْفَى yang bermakna عَلِمَ وَاعْتَقَدَ tahu dan yakin muta’addi sampai dua maf’ul. نحو أَلْفَيْتُ قَوْلَكَ صَوَابًا Aku yakin bahwa ucapanmu benar أَلْفَى dengan makna lain Apabila أَلْفَى bermakna “menemukan” أصاب الشيء وظفر به maka ia hanya muta’addi sampai satu maf’ul saja. نحو أَلْفَيْتُ الْكِتَابَ Aku menemukan kitab وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَا الْبَابِ – يوسف ٢٥ Dan mereka berdua mendapati tuan/suami wanita tersebut di depan pintu Af’al adh-Dhann أَفْعَالُ الظَّنِّ Af’al adh-Dhann merupakan fi’il-fi’il yang menunjukkan makna dugaan yakni kecenderungan pada salah satu kemungkinan. Dan af’al adh-dhann terdapat dua macam, yakni Macam Pertama, yang bermakna dua yakni dugaan dan yakin, namun kebanyakan bermakna dugaan. Seperti ظَنَّ , خَالَ , حَسِبَ Macam Kedua, yang bermakna dugaan saja. Seperti جَعَلَ , حَجَا , عَدَّ , زَعَمَ , هَبْ Macam Pertama Terdapat tiga fiil pada macam ini, antara lain 1. ظَنَّ ظَنَّ merupakan fiil yang menunjukkan kecenderungan pada salah satu kemungkinan. نحو ظَنَنْتُكَ مُسْلِمًا Aku mengira engkau adalah orang Islam Terkadang ظَنَّ menunjukkan makna yakin, misalnya الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ مُلَاقُوْا رَبِّهِمْ – البقرة ٤٦ Yaitu orang-orang yang telah yakin bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan Tuhannya وَظَنُّوْا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللهِ إِلَّا إِلَيْهِ – التوبة ۱۱۸ Dan mereka telah mengetahui/meyakini bahwasanya tidak ada tempat berlari dari siksa Allah kecuali hanya kepada Allah Namun apabila ظَنَّ bermakna اتَّهَمَ menuduh maka ia hanya muta’addi sampai satu maf’ul saja. نحو ظَنَّ الْقَاضِيُ فُلَانًا Seorang hakim telah menuduh si anu 2. خَالَ خَالَ maknanya sama dengan ظَنَّ yang menunjukkan kecenderungan. نحو خَالَ زَيْدٌ بَكْرًا مُعَلِّمًا Zaid telah menduga Bakr adalah guru Dan terkadang خَالَ menunjukkan makna yakin, seperti pada syiir bahar thawil berikut دَعَانِي الْغَوَانِي عَمَّهُنَّ وَخِلْتُنِيْ لِيَ اسْمٌ فَلَا أُدْعَى بِهِ وَهُوَ أَوَّلُ Orang-orang kaya memanggilku sebagai paman mereka dan engkau yakin bahwa aku mempunyai nama, lalu bukankah aku dipanggil dengan nama tersebut yang aku punya itu lebih utama? خِلْتُنِيْ لِيَ اسْمٌ Ya’ mutakallim pada خِلْتُنِيْ لِيَ اسْمٌ merupakan maf’ul pertama dan jumlah “لِيَ اسْمٌ” menempati tempat nashab sebagai maf’ul kedua. 3. حَسِبَ حَسِبَ mempunyai makna yang sama dengan ظَنَّ yang menunjukkan kecenderungan. نحو يَحْسَبُهُمْ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ – البقرة ۲۷۳ Orang yang bodoh menduga bahwa mereka orang-orang kaya sebab memelihara diri dari meminta-minta وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُوْدٌ – الكهف ۱۸ Dan kamu mengira bahwa mereka terjaga sedangkan mereka itu tidur Terkadang حَسِبَ menunjukkan makna keyakinan seperti halnya contoh pada bahar thawil berikut حَسِبْتُ التُّقَى وَالْجُوْدَ خَيْرَ تِجَارَةٍ رَبَاحًا إِذَا مَا الْمَرْءُ أَصْبَحَ ثَاقِلًا Aku yakin bahwa ketaqwaan dan kedermawanan adalah sebaik-baik perdagangan yakni keuntungannya ketika seseorang menjadi berat/sakaratul maut Macam kedua Terdapat lima fiil pada macam ini yakni af’al adh-dhann yang hanya menunjukkan makna dugaan, antara lain 1. جَعَلَ جَعَلَ dengan makna ظَنَّ atau “menduga” me-nashab-kan dua maf’ul نحو وَ جَعَلُوْا الْمَلٰئِكَةَ الَّذِيْنَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمٰنِ إِنَاثًا – الزخرف ۱۹ Artinya “Dan mereka menduga bahwa malaikat-malaikat yaitu hamba-hamba Allah adalah perempuan”. جَعَلَ dengan makna lain Apabila جَعَلَ bermakna أَوْجَدَ mewujudkan/menciptakan atau أَوْجَبَ menjaga/memperhatikan maka ia hanya muta’addi sampai satu maf’ul saja. نحو وَجَعَلَ الظُّلُمٰتِ وَالنُّوْرَ – الأنعام ١ Dan Allah menciptakan kegelapan-kegelapan dan cahaya اجْعَلْ لِنَشْرِ الْعِلْمِ نَصِيْبًا مِنْ مَالِكٍ Perhatikanlah bagian dari raja untuk penyebaran ilmu Selanjutnya, apabila جَعَلَ bermakna صَيَّرَ merubah maka ia termasuk pada af’al at-tahwil yang menashabkan dua maf’ul. Pembahasan mengenai af’al at-tahwil akan dibahas pada postingan selanjutnya. Lalu apabila جَعَلَ bermakna أَنْشَأَ mulai maka ia termasuk fiil muqarabah/fiil naqish yang menunjukkan makna “memulai dalam melakukan sesuatu”. جَعَلَ زَيْدٌ يَمْشِيْ Zaid mulai berjalan 2. حَجَا حَجَا dengan makna ظَنَّ atau “menduga” me-nashab-kan dua maf’ul حَجَوْتُ أَبَاكَ صَائِمًا Aku mengira ayahmu adalah orang yang berpuasa حَجَا dengan makna lain حَجَا hanya muta’addi sampai satu maf’ul apabila mempunyai makna-makna sebagaimana berikut Mengalahkan dalam teka-teki حَاجَيْتُهُ فَحَجَوْتُهُ Aku telah memberi teka-teki padanya lalu aku mengalahkannya dalam teka-teki Menolak/mencegah حَجَوْتُ زَيْدًا Aku telah mencegah Zaid Menyembunyikan/merahasiakan/menjaga حَجَوْتُ السِّرَّ Aku telah menyembunyikan/menjaga rahasia Menjalankan/mendorong حَجَتِ الرِّيْحُ سَفِيْنَةً Angin telah mendorong kapal Dan حَجَا berhukum lazim/tidak memiliki maf’ul apabila mempunyai makna sebagai berikut Mendiami/tinggal حَجَا بِالْمَسْجِدِ Ia mendiami/tinggal di masjid Kikir/terlampau hemat حَجَا بِالشَّيْءِ Ia terlampau hemat pada sesuatu 3. عَدَّ عَدَّ dengan makna ظَنَّ atau “menduga” me-nashab-kan dua maf’ul. Sebagaimana contoh pada syi’ir bahar thawil berikut نحو فَلَا تَعْدُدِ الْمَوْلٰى شَرِيْكَكَ فِي الْغِنَى وَلٰكِنَّمَا الْمَوْلٰى شَرِيْكُكَ فِي الْعُدْمِ Maka jangan kau kira anak paman adalah temanmu dalam kekayaan Akan tetapi anak paman adalah temanmu dalam kefakiran عَدَّ dengan makna lain Apabila عَدَّ bermakna “menghitung” maka ia hanya muta’addi sampai satu maf’ul. نحو عَدَدْتُ الدَّرَاهِمَ Aku telah menghitung beberapa dirham 4. زَعَمَ زَعَمَ dengan makna ظَنَّ ظَنًّا رَاجِحًا “menyangka dengan sangkaan yang kuat” me-nashab-kan dua maf’ul. Sebagaimana contoh syi’ir bahar khafif berikut زَعَمْتَنِيْ شَيْخًا وَلَسْتُ بِشَيْخٍ إِنَّمَا الشَّيْخُ مَنْ يَدِبُّ دَبِيْبًا Kau menduga diriku adalah syaikh orang yang sudah tua, sedangkan diriku bukanlah syaikh Syaikh itu tidak lain adalah orang yang merangkak dengan sebenar-benarnya merangkak زَعَمَ dengan makna lain Namun secara umum penggunaan زَعَمَ lebih sering digunakan untuk menunjukkan makna dugaan yang salah, زَعَمَ mengungkapkan ucapan yang diduga sebagai kebohongan. Maka dari itu زَعَمَ digunakan dalam hal yang di dalamnya terdapat kebimbangan atau hal yang sudah diyakini kebohongannya. Orang arab biasanya berkata “زَعَمُوْا كَذَا وَ كَذَا” Orang arab berkata bla bla bla. Dalam artian ”bla bla bla” tersebut adalah perkataan yang bohong. Terkadang pula زَعَمَ bermakna “berkata” saja, tanpa embel-embel bahwa perkataan tersebut adalah kebohongan, dugaan, atau kebimbangan. Apabila زَعَمَ bermakna “memimpin” تَأَمَّرَ وَرَأَّسَ atau “menanggung“ كَفَلَ بِهِ maka ia hanya muta’addi sampai satu maf’ul saja dan dengan perantara huruf jarr. زَعَمَ عَلَى الْقَوْمِ Ia telah memimpin kaum زَعَمَ بِالْمَالِ Ia telah menanggung harta Dan زَعَمَ yang bermakna “lezat/enak” berhukum lazim. زَعَمَ اللَّبَنُ Susu tsb enak 5. هَبْ هَبْ yang berbentuk perintah “fi’il amr” dengan makna “dugalah!” me-nashab-kan dua maf’ul. Sebagaimana contoh pada syi’ir bahar mutaqarib berikut فَقُلْتُ أَجِرْنِيْ أَبَا خَالِدٍ وَإِلَّا فَهَبْنِيْ امْرَءًا هَالِكًا Kemudian aku berkata “Tolonglah aku wahai Abu Kholid, dan jika tidak maka dugalah aku sebagai orang yang hancur” هَبْ dengan makna lain Apabila هَبْ bermakna “berikanlah!” berasal dari هِبَةً maka ia tidak termasuk af’al al-qulub walaupun ia muta’addi sampai dua maf’ul. Karena kedua maf’ul-nya bukan berasal dari mubtada’ khobar. هَبِ الْفُقَرَاءَ مَالًا Berilah orang-orang faqir harta! Menurut lughah yang fashih pada contoh di atas, هَبْ bermakna “berikanlah!” muta’addi kepada maf’ul pertama dengan bantuan lam’. هَبْ لِلْفُقَرَاءَ مَالًا Berilah harta kepada orang-orang faqir! Namun apabila هَبْ bermakna “takutlah!” berasal dari هَيْبَةً maka ia hanya muta’addi sampai satu maf’ul saja. هَبْ رَبَّكَ Takutlah pada Tuhanmu! Kesimpulan Af’al al-qulub ada 14 jumlahnya yaitu رَأَىعَلِمَدَرَىوَجَدَأَلْفَىتَعَلَّمْظَنَّخَالَحَسِبَجَعَلَحَجَاعَدَّزَعَمَهَبْ Dimana dari angka 1-6 adalah af’al al-yaqin, dan dari angka 7-14 merupakan af’al al-dhann. Namun 7, 8, dan 9 terkadang menunjukkan makna yakin. Demikian pembahasan af-al al-qulub semoga bermanfaat.
1 Tajalli Af'al Tajalli Af'al (perbuatan) lenyapnya af'al seorang hamba dan yang ada hanya af'al Allah SWT. Af'al yang hakiki adalah Af"al Allah. Segala sesuatu yang ada ini pada hakikatnya adalah hasil af'al Allah, yang dilakukan oleh makhluknya merupakan sunatullah semata. Sunatullah yang merupakan sebab dan akibat
Makna al-Afuw secara bahasaPenjabaran makna nama Allah al-AfuwPembagian sifat al-afw memaafkan dari Allah Ta’alaPengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-AfuwPenutupMakna al-Afuw secara bahasaIbnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah meninggalkan sesuatu[1].Ibnul Atsir berkata, “Nama Allah “al-Afuw” adalah fa’uul dari kata al-afwu memaafkan yang berarti memaafkan perbuatan dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya menghapus dan menghilangkan[2].Al-Fairuz Abadi berkata, “al-Afwu adalah pemaafan dan pengampunan Allah Ta’ala atas dosa-dosa makhluk-Nya, serta tidak memberikan siksaan kepada orang yang pantas mendapatkannya[3].Penjabaran makna nama Allah al-AfuwAl-Afuw adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan maksiat[4].Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,{إنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ}“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” QS al-Hajj60.Beliau berkata, “Artinya Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat dosa, dengan tidak menyegerakan siksaan bagi mereka, serta mengampuni dosa-dosa mereka. Maka Allah menghapuskan dosa dan bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Ta’ala yang tetap dan terus ada pada zat-Nya yang maha mulia, dan inilah perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya di setiap waktu, yaitu dengan pemaafan dan pengampunan…”[5].Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk dibaca pada malam lailatul qadrاللهم إنك عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, Engkau suka memaafkan hamba-Mu, maka maafkanlah aku”[6].[7]Dalam beberapa ayat al-Qur’an Allah menggandengkan nama ini dengan nama-Nya yang lain yaitu “al-Ghafur” maha pengampun, seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-Nisa’43 dan an-Nisa’99.{وَكَانَ الله ُعَفُوًّا غَفُوْرًا}“Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” QS an-Nisaa’99.Kedua nama Allah yang maha indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun nama Allah al-Afuw memiliki makna yang lebih mendalam. Karena “pengampunan” mengisyaratkan arti as-sitru menutupi, sedangkan “pemaafan” mengisyaratkan arti al-mahwu menghapuskan yang artinya lebih mendalam dalam penghapusan dosa. Meskipun demikian, kedua nama Allah ini jika disebutkan sendiri-sendiri maknanya mencakup keseluruhan arti tersebut[8].Sifat “memaafkan” dan “mengampuni” ini adalah termasuk sifat-sifat yang tetap dan terus-menerus ada pada dzat Allah yang Maha Mulia. Dan senantiasa pengaruh baik sifat-sifat ini meliputi semua makhluk-Nya di siang dan malam hari. Karena sifat “memaafkan” dan “mengampuni” yang dimiliki-Nya meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia menjadikan mereka ditimpa berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan dan pengampunan-Nya menghalangi turunya siksaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman{ولو يؤاخذ الله الناسَ بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة ولكن يؤخرهم إلى أجل مسمى، فإذا جاء أجلهم فإن الله كان بعباده بصيرا}“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan dosa mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan penyiksaan mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat keadaan hamba-hamba-Nya” QS Faathir45.Inilah kesempurnaan pemaafan-Nya, yang kalau bukan karena itu niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun[9].Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan celaan yang didengarnya melebihi Allah Ta’ala. Sungguh orang-orang kafir telah menyekutukan-Nya dan mengatakan bahwa Dia mempunyai anak, tapi bersamaan dengan itu Dia tetap menangguhkan siksaan dan memberi rezki bagi mereka”[10].Baca Juga Mengenal Asmaul HusnaPembagian sifat al-afw memaafkan dari Allah Ta’alaSifat al-afw memaafkan ini ada dua macamYang pertama pemaafan-Nya yang bersifat umum bagi semua orang yang berbuat maksiat, dari kalangan orang-orang kafir maupun yang selain mereka. Yaitu dengan tidak menimpakan siksaan yang telah ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari kenikmatan duniawi yang mereka rasakan, padahal mereka menentang-Nya dengan mencela-Nya menisbatkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai macam penyimpangan lainnya. Bersamaan dengan itu Allah tetap memaafkan menangguhkan siksaa-Nya, memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam nikmat duniawi lahir dan batin kepada mereka. [su_spacer]Yang kedua Pemaafan dan pengampunan-Nya yang bersifat khusus bagi orang-orang yang bertaubat, yang meminta ampun, yang berdoa dan menghambakan diri kepada-Nya, demikian pula bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat-Nya dengan musibah-musibah yang menimpa mereka. Maka semua orang yang bertaubat kepada-Nya dengan tobat yang nashuh[11], maka Allah akan mengampuni dosa apapun yang dilakukannya, baik itu kekafiran, kefasikan maupun maksiat lainnya. Semua dosa tersebut termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,{قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعًا إنه هو الغفور الرحيم}“Katakanlah Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” az-Zumar53 [12].Baca Juga Asy Syaafi, Yang Maha PenyembuhPengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-AfuwMemahami nama Allah yang maha agung ini merupakan pintu utama untuk mencapai kedudukan yang tinggi di sisi-Nya, khususnya jika setelah memahaminya dengan baik kita berusaha untuk merealisasikan kandungan dan konsekwensi yang terkandung dalam nama ini. Yaitu melakukan istighfar meminta ampun kepada Allah secara kontinyu, meminta pemaafan, selalu bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya, karena Allah Ta’ala Maha Pema’af lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa hamba-hamba-Nya bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka seorang hamba senantiasa berada dalam kebaikan yang agung selama dia selalu meminta pemaafan dan mengharapkan pengampunan dari Allah[13].Cobalah renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut ini“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Seorang hamba melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berdoa “Ya Allah ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang maha mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. Maka Allah mengampuni dosanya, kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang maha mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. Maka Allah mengampuni dosanya, kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang maha mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu wahai hamba-Ku, maka sungguh Aku telah mengampunimu”[14]. Yaitu, “Selama kamu terus bertaubat, memohon dan kembali kepada-Ku” [15].Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,{إن الله كان عفواً غفوراً}“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” QS an-Nisaa’43.Beliau berkata “Artinya Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan syariat-Nya bagi mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk menunaikannya dan tidak bentuk pemaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi umat Islam ini dengan Dia mensyariatkan bersuci dengan tanah debu sebagai pengganti air ketika tidak mampu menggunakan termasuk bentuk pemaafan dan pengampunan-Nya adalah dengan Dia membukakan pintu taubat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan dia menyeru mereka untuk bertaubat dan menjanjikan pengampunan bagi dosa-dosa termasuk bentuk pemaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang mukmin datang menghadap-Nya di akhirat nanti dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan yang sepenuh bumi pula[16]. [17]Baca Juga Mengenal Nama Allah “Al-Hakiim”Termasuk bentuk pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,{إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ}“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan buruk” QS Huud114.Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan dosa perbuatan buruk tersebut[18].Demikian juga termasuk bentuk pemaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang menimpa seorang hamba pada diri, anak maupun hartanya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya, khususnya jika hamba itu mengharapkan pahala dari musibah tersebut dan menunaikan sikap bersabar dan ridha dengan takdir Allah Ta’ala terhadap dirinya.Dan termasuk bentuk pemaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya selalu menentang perintah-Nya dengan melakukan berbagai macam maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu berlaku lembut dan memberikan maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk bertobat kepada-Nya, lalu Dia menerima taubatnya. Bahkan Allah Ta’ala bergembira dengan taubat hamba-Nya padahal Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan memberi manfaat bagi-Nya ketaatan orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-Nya kemaksiatan orang-orang yang berbuat maksiat [19].PenutupSesungguhnya pintu-pintu pemaafan dan pengampunan-Nya senantiasa terbuka lebar, dan Dia senantiasa dan selalu bersifat maha pemaaf dan pengampun. Sungguh Dia telah menjanjikan pengampunan dan pemaafan bagi orang-orang yang mengusahakan sebab-sebabnya, sebagaimana dalam firman-Nya,{وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحاً ثم اهتدى}“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar” QS Thaaha82 [20].Demikianlah, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita pemaafan-Nya dan memuliakan kita dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pema’af lagi Maha الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمينKota Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 17 Ramadhan 1430 HBaca Juga Berapakah Jumlah Asmaaul Husna ?***Penulis Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MAArtikel Mu’jamu maqaayiisil lughah 4/45.[2] An-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar 3/524.[3] Al-Qamus al-muhith hal. 1693.[4] Kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 142.[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 388.[6] HR at-Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” 2/239.[8] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 142.[9] Ibid hal. 143.[10] HSR al-Bukhari no. 5748 dan Muslim 2804 dari Abu Musa al-Asy’ari .[11] Artinya taubat yang murni untuk mengharapkan wajah Allah semata-mata, yang mencakup dan meliputi semua dosa, yang tidak disertai keragu-raguan dan sikap bersikeras pada perbuatan dosa tersebut.[12] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 143.[13] Ibid hal. 145.[14] HSR al-Bukhari no. 7068 dan Muslim no. 2758.[15] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 145.[16] Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR Muslim no. 2687, at-Tirmidzi no. 3540 dll.[17] Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 103.[18] HR at-Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153, dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.[19] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” hal. 144.[20] Ibid hal. 145.
Berikutadalah 20 contoh af'alul khomsah yang terdapat di dalam al qur'an. وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ ۗ قَا لَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ
4 Februari 2009 at 1211 PM Menurut Muhammad Abduh, bahwa “At-tauhid huwa wahdaniyatullah fi al-zat wa al-sifat wa al-af’al wa al-ibadah wama siwazaalik”, artinya, “Tauhid itu adalah meng-esakan Allah dalam zat, dalam sifat, dalam perbuatan, dalam ibadah, dalam pujian, dalam pemeliharaan, dan dalam hal-hal lain.” Perbuatan-perbuatan Allah adalah sesuatu yang unik, yang hanya itu saja, dan tidak ada yang lain dapat menyamai apa yang dilakukan Allah. Artinya, perbuatan Allah adalah sesuatu yang hanya dapat dilakukan Allah tanpa ada sesuatu lain yang dapat menyamai ataupun menirukan apa yang dilakukan Allah Swt. Perbuatan-perbuatan Allah ini ditujukan semuanya dalam rangka sifat Maha Rahman dan Maha Rahim yang tujuannya untuk kebaikan makhluk-Nya, terutama untuk makhluk-Nya yang paling unggul, yaitu manusia. Sehingga dengan demikian sebenarnya, apa yang dilakukan Allah Swt itu sesungguhnya ditujukan untuk kebaikan manusia sendiri. Karena itulah, Allah Swt mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan untuk manusia itu merupakan sesuatu yang pasti tujuannya untuk kebaikan. Pertama kali Allah menciptakan alam dan isinya, “fi khalqissamawaati wal ardh” dalam penciptaan langit-langit dan bumi, untuk apa itu? Yaitu untuk kebaikan kita. Allah menciptakan bahwa di langit-langit itu atau di antara langit dan bumi terdapat ruang yang berisi udara. Untuk apa itu? Semuanya untuk manusia pula. Dan karena itu pula, Allah kemudian mengungkapkan, bahwa dalam rangka kebaikan itu, Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik pula. Sehingga diungkapkan dalam satu ayat yang terdapat dalam Surat At-Tiin, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. At-Tiin 4 Sehingga segala sesuatu yang diperbuat oleh Allah itu adalah mempunyai tujuan-tujuan khusus. Ketika menciptakan kebaikan, Allah mempunyai tujuan. Demikian juga ketika ada hal-hal yang ternyata itu merupakan sesuatu yang dinilai merugikan bagi manusia, tetapi dalam hal-hal yang merugikan itu ada nilai-nilai positif yang dapat dijadikan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Setiap Rasul mendapat anugerah mu’jizat yang dapat memberikan kenikmatan bagi kaumnya. Nabi Isa mendapat mu’jizat pengobatan, sehingga dapat menolong sebagian umatnya yang menderita penyakit yang ketika itu belum ada obatnya, dan nabi-nabi yang lain pun juga mendapat mu’jizat yang kemudian dapat memberikan kenikmatan bagi kaumnya umatnya ketika itu. Lantas apakah anugerah Allah kepada Nabi Muhammad yang dapat memberikan nilai-nilai positif atau kenikmatan-kenikmatan kepada umatnya seperti para nabi dan rasul yang terdahulu yang mendapat anugerah mu’jizat sehingga dapat memberikan nilai-nilai positif dan kenikmatan kepada umat-umatnya ketika itu? Di dalam Surat Ali Imran ayat 190-191 disebutkan Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, Ali Imraan 190 Siapakah ulil albab itu? yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ali Imraan 191 Tampaknya di sini Allah telah memberikan perbandingan, bahwa umat-umat terdahulu merupakan umat-umat yang keras, yang hanya mau percaya kalau mereka melihat sesuatu yang diinformasikan itu secara nyata. Sampai-sampai ketika mereka dianjurkan untuk beriman kepada Allah, jawaban mereka apa? Lam nu’minalaka, hatta narallaha jahratan Ya Musa, kami tidak akan beriman kepada apa yang kamu informasikan, sampai kami melihat Allah yang merupakan Sang Khalik dapat kita lihat secara nyata. Sehingga pada ayat tadi sebetulnya adalah untuk teguran, bahwa umat Nabi Muhammad itu secara budaya sudah lebih modern dibandingkan umat Nabi Musa. Sekarang kita ini secara budaya dan secara ilmu pengetahuan, sudah lebih modern dibandingkan dengan para sahabat. Tetapi, kemodernan akibat budaya, akibat kemajuan penalaran, mengapa masih harus disertai dengan pemikiran umat masa lalu yang kalau sesuatu itu harus terlihat nyata di depan kita. Maka Allah menegur, sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta dalam pergantian malam dan siang, itu sebetulnya sudah cukup sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, sebagai tanda dan bukti bahwa Allah itu Wujud ada, Allah itu Qadirun berkuasa/mampu melakukan segala sesuatu, tanpa harus ditunjukkan bahwa Allah itu seperti ini dan seperti itu. Sehingga bukanlah cara yang terbaik untuk membuktikan bahwa Allah itu ada, yaitu dengan meminta sesuatu yang nyata, walaupun itu memang mu’jizat. Dalam bahasa aqidah, apa yang dianugerahkan kepada Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi-nabi terdahulu itu dinamakan “Mu’jizat Mu’aqqatah” mu’jizat yang temporer, yang hanya terjadi sekali dan tidak akan pernah terulang lagi. Sehingga, Nabi Musa memukulkan tongkat maka laut terbelah menjadi jalan, itu takkan terulang lagi. Begitu juga ketika Nabi Musa memukulkan tongkatnya pada batu dan batu itu memancarkan dua belas mata air, itu hanya terjadi sekali dan takkan pernah terulang lagi. Apakah Rasulullah Saw pernah mendapatkan mu’jizat mu’aqqatah? Pernah, yaitu ketika dalam suatu peperangan, makanan habis, padahal ketika itu pasukan istirahat, perut lapar, energi habis, maka kemudian Rasulullah bisa memperbanyak makanan yang sedikit. Tetapi itupun hanya terjadi sekali. Dengan seperti ini, apakah umat Rasulullah Saw para sahabat ketika itu hanya menginginkan bukti yang hanya sekali saja, kemudian tidak dapat dinalar dan dibuktikan kembali pada masa-masa yang akan datang. Maka kemudian Allah menegur, bahwa kalau masih bersikap demikian meminta bukti yang nyata berupa mu’jizat mu’aqqatah, maka umat Rasulullah akan dikategorikan bukan termasuk “ulul albab”. “albab” itu jamak dari “lubbun”, “lub” artinya intisari. Intisari dari manusia adalah akal dan jiwanya. “ulul albab” adalah kelompok yang memiliki saripati kemanusiaan. Artinya yang memiliki akal dan jiwa yang difungsikan. Sehingga kita-kita ini akan disebut sebagai orang yang memiliki akal yang difungsikan, atau sebaliknya yaitu yang memiliki akal tapi tidak difungsikan? Pernah dikritik Allah, “lahum quluubun laa yafqahu nabiha” mereka punya jiwa, punya hati, punya akal, tapi tidak dipakai untuk memikirkan segala sesuatu. Mereka punya mata, tapi tidak dipergunakan untuk melihat ciptaan Allah Yang Maha Sempurna. Mereka punya telinga, tapi tidak dipergunakan untuk mendengar kebaikan-kebaikan yang disampaikan. Sehingga kemudian Allah menegur, apakah kita manusia mau memilih mana antara “ulul albab” atau orang-orang yang hanya puas dengan bukti sesaat. Kalau memilih “ulul albab”, maka di situlah, “allazina yazkurunallah” yang selalu berzikir ingat kepada Allah kapan saja, di mana saja, serta bagaimanapun keadaannya, selalu mengingat Allah. Ketika kita ingat kepada Allah, apa implikasinya? Implikasinya adalah kita menjadi ingat kepada ciptaan-Nya, Maha Kuasa-Nya, Maha Kebaikan-Nya. Sehingga ini akan mendorong kita, kalau Allah Maha Baik, saya bisa tidak menjadi baik, kalau Allah Maha Pengampun, saya bisa tidak mengampuni sesama. Ini akan mendorong kita untuk memiliki sifat-sifat yang ada pada Allah. Sehingga nantinya akan, “Rabbana, maa khalaqta haaza baathila” Ya Allah, sungguh tidak sia-sia Engkau ciptakan sesuatu yang ada di dunia. Sungguh tidak sia-sia Allah menciptakan segala sesuatunya di atas dunia ini. Bahkan bencana alam sekalipun merupakan ciptaan Allah, yaitu ciptaan yang sesuai dengan sunnatullah. Kalau begitu di mana letaknya kalau ciptaan ini memberikan kebaikan bagi manusia? Dengan bencana alam, pada awalnya manusia memang mengalami banyak kerugian, banyak yang mati, lingkungannya rusak dan sebagainya. Tapi dengan bencana alam ini ternyata kemudian menimbulkan kesadaran, kepedulian dari sesama menyikapi musibah yang menimpa saudaranya, sehingga tergerak untuk membantu. Inilah nilai positifnya. Tidak ada hal yang sia-sia dari apa yang diciptakan oleh Allah di atas dunia ini, meskipun bencana alam sekalipun. Kalau kita menghayati semua ini, maka kita akan menemukan hikmah dan tujuan dari penciptaan Allah tentang hal-hal yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga pasti pada akhirnya kita akan menemukan sesuatu yang memberikan nilai manfaat dan nilai lebih bagi kehidupan kita. Apakah tujuan Allah mengutus Nabi? Allah mengungkapkan, “Ketika Allah menciptakan manusia dalam kondisi terbaik, maka di situ pula Allah kemudian tidak akan pernah meninggalkan manusia dalam keterpurukannya.” Ketika manusia tersesat karena tidak lagi dapat mengikuti ajaran-ajaran para Rasul terdahulu karena banyaknya polusi-polusi kebudayaan serta noda-noda kemaksiatan yang mengotori akidah atau ajaran agama yang disampaikan Rasul, sehingga umat cenderung untuk melakukan kemungkaran, maka Allah tidak tinggal diam. Maka diutuslah para Nabi untuk mengingatkan lagi. Kemudian setelah Sang Nabi wafat, tidak berapa lama kemudian digantikan dengan Nabi yang lain. Sehingga, selalu ada Nabi yang menggantikan. Mengapa? Karena tujuannya adalah untuk menghindarkan umat manusia dari kesesatan, dari kesalahan syari’at, serta dari kesalahan ibadah. Ketika Rasulullah ditetapkan sebagai Khatamun Nabiyyin Nabi Yang Terakhir, apakah ini berarti setelah Rasulullah Saw wafat, maka Allah kemudian akan meninggalkan manusia, yang kemudian manusia akan hidup dalam keterpurukan dan kesesatan? Namun Rasulullah kemudian menginformasikan Innallaha yursilu li kulli ummatin ala ra’simiatin man yujaddidu laha diinaha Sesungguhnya Allah selalu akan mengirim pada setiap umat seseorang yang selalu akan memperbaharui pemahaman agama yang sudah menyimpang, agar umat tadi terhindar dari kezaliman. Sepeninggalan Rasulullah, maka muncullah mujaddid pertama di dalam Islam, yaitu Umar bin Khattab Khalifah Kedua dari Khulafaur Rasyidin. Apa jasa beliau sehingga dikenal sebagai mujaddid pertama di dalam Islam yang mengingatkan umat? Jasa beliau adalah untuk melestarikan Al-Qur’an, yaitu mengusulkan agar wahyu yang diterima Rasulullah disatukan dalam satu jilid mushaf. Karena ketika itu, begitu Rasulullah wafat ternyata sebagian Bangsa Arab ketika menyatakan memeluk Agama Islam lebih dikarenakan wibawa Rasulullah atau lebih didorong karena akhlak Rasulullah. Dikhawatirkan sepeninggalan Rasulullah, orang-orang yang memeluk Islam karena pengaruh wibawa Rasulullah itu akan berbalik kepada kejahiliyahan. Semasa hidup Rasulullah, otoritas penetapan hukum berada pada beliau selaku penerima wahyu. Sehingga sepeninggalan Rasulullah, tinggallah Al-Qur’an sebagai pedoman hukum, selain juga Sunnah Rasulullah yang ketika itu juga belum dikodifikasi dibukukan, sama halnya dengan Al-Quran. Dalam hal ini, Umar bin Khatthab memandang perlu dan pentingnya Al-Quran untuk segera disatukan dalam satu jilid mushaf. Karena saat itu Al-Qur’an memang belum dibukukan, melainkan pencatatannya masih tercerai berai dan lebih banyak mengandalkan catatan dan hafalan para sahabat yang mencatat Al-Qur’an semasa hidupnya Rasulullah. Sedangkan saat itu masa kekhalifahan Abu Bakar Siddiq, banyak para sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang. Sehingga berkaitan dengan hal ini, maka ide Umar bin Khattab untuk menyatukan Al-Qur’an dalam satu jilid mushaf dapat dikatakan sebagai ide pembaharuan tajdid. Umar bin Khatthab selaku tokoh tajdid pembaharuan itu dapatlah dikatakan sebagai mujaddid pembaharu. Berkaitan dengan akhlak Rasulullah yang menjadi magnet tersendiri bagi syi’ar Agama Islam, sehingga semasa hidupnya Rasulullah banyak Bangsa Arab yang masuk Islam karena akhlak Rasulullah, bukan karena akidah yang ditawarkan. Maka sangat tepatlah ketika Rasulullah menyatakan, “Innama bu’istimu li utammima makarimal akhlaq,” Sesungguhnya Rasulullah itu diutus untuk menyempurnakan akhlak. Tentang kemuliaan akhlak Rasulullah ini, pernah terjadi ketika di Mekkah setiap kali Rasulullah berangkat ke Ka’bah ketika itu untuk beribadah, yang saat itu wahyu untuk melakukan perintah shalat lima waktu shalat fardhu belumlah diterima Rasulullah, sehingga ibadah Rasulullah ketika itu hanya dilakukan dua kali, yaitu “bukratan wa ashiila”, yaitu pagi dan petang, yang mana ibadah seperti ini sudah dilakukan Rasulullah sejak beliau menerima wahyu. Diceritakan bahwa setiap Rasulullah berangkat ke Ka’bah, di perempatan jalan sudah menunggu seseorang. Begitu melihat Rasulullah, orang tersebut langsung memaki-maki. Kadang-kadang makian tak mempan, maka diambilnya pasir lalu dilemparnya ke arah Rasulullah. Tapi Rasulullah tak mempedulikan itu. Rasulullah hanya tersenyum saja atas perlakuan orang tersebut. Sehingga orang tersebut semakin kesal saja. Mengapakah orang tersebut kesal? Orang tersebut kesal, karena keinginannya ketika dia memaki-maki Rasulullah, maka Rasulullah juga harus membalasnya dengan memaki-maki ataupun marah. Karena kalau Rasulullah marah, maka dia orang itu mempunyai alasan untuk melakukan perbuatan yang lebih dari itu. Namun Rasulullah hanya tersenyum saja menanggapi itu semua. Suatu saat ketika Rasulullah berangkat ke Ka’bah, ternyata orang yang biasanya memaki-maki beliau tersebut tidak ada. Rasulullah pun heran, karena tak biasanya, dan Rasulullah merasa ada sesuatu yang kurang dan janggal, karena biasanya disambut oleh sesuatu, tapi saat itu tidak. Akhirnya Rasulullah melanjutkan perjalanan ke Ka’bah. Setelah dari Ka’bah, Rasulullah pun bertanya-tanya, kemana gerangan orang yang biasanya memaki-maki dirinya itu. Ternyata setelah diketahui, bahwa orang tersebut sedang sakit. Lalu Rasulullah bergegas pulang, kemudian minta kepada istrinya Khadijah untuk membungkuskan makanan. Dengan membawa makanan, Rasulullah pun langsung menjenguk orang tersebut ke rumahnya. Mengetahui bahwa yang datang adalah Rasulullah, orang tersebut semakin ketakutan, takut kalau-kalau Rasulullah akan membalas perbuatannya. Rasulullah pun masuk ke rumah orang tersebut. Ternyata ketakutan orang tersebut tak terbukti, karena Rasulullah datang bukanlah untuk membalas dendam, melainkan untuk menjenguk orang tersebut yang sedang sakit. Maka orang tersebut kemudian hilang rasa takutnya, malahan kemudian muncul penghargaan dan rasa simpati terhadap Rasulullah, karena orang-orang di sekitarnya belum ada yang peduli kalau dia sedang sakit. Tapi ini, orang yang selama ini dimusuhinyalah yaitu Rasulullah yang peduli dan menjenguknya yang sedang sakit. Ketika Rasulullah akan pamit pulang dan mau keluar dari rumah orang tersebut, tiba-tiba orang tersebut memanggil “Ya Muhammad, aslamtu bima da’awtani”, ya Muhammad, saya menyatakan keislaman saya terhadap apa yang engkau dakwahkan kepada kami. Islamnya orang tersebut karena apa? Bukan karena keyakinan bahwa yang didakwahkan Rasulullah itu benar, bukan karena mempercayai bahwa yang didakwahkan Rasulullah itu datang dari Allah. Tetapi lebih dikarenakan akhlak mulia Rasulullah. Manusia, karena secara fitrah mempunyai potensi fujur kekuatan yang selalu mengajak kepada keburukan, maka pasti tidak ada satupun manusia yang terhindar dari keinginan untuk melakukan keburukan. Sehingga berbuat buruk itu konon sudah menjadi sifat dasar manusia. Namun di sinilah, ketika kita melakukan keburukan, hendaknya segera sadar bahwa itu salah. Bagaimana memperbaikinya? Ikutilah perbuatan buruk tadi dengan perbuatan baik yang dapat menghapus, yang dapat menjadi kompensasi dari perbuatan buruk tadi. Oleh karena itulah, kita selalu dianjurkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Karena kebaikan itulah yang sesuai dengan tujuan Allah dalam penciptaannya, yaitu penciptaan itu adalah untuk kebaikan. Ketika menganjurkan umat, maka ungkapannya adalah wal takum minkum ummatun, yaf’uuna ila khairi “hendaknya di antara kamu ada sekelompok orang yang mau mengajak kebaikan,” bukan mengajak kepada keimanan terlebih dahulu. Wa ya’muruna bil ma’ruf wa yanhaw anil munkar, setelah mengajak kepada kebaikan, baru kemudian mengajak kepada ajaran syari’ah. Dan itu ternyata sesuai dengan misi pengutusan Allah terhadap Rasul-Nya, li utammima makarimal akhlaq. Kemudian ungkapan tadi dilanjutkan, wa ahsin kama ahsanallahu ilaika, “dan berbuatlah yang terbaik, sebagaimana Allah telah melakukan yang terbaik bagi kita bagi manusia”. Pada yang pertama adalah perintah yang baik, maka perintah selanjutnya adalah berbuat yang terbaik, sebagaimana Allah telah melakukan yang terbaik bagi manusia. Jadi, semua yang dilakukan Allah terhadap manusia adalah segala sesuatu yang terbaik. Bandingkan dengan apa yang dilakukan manusia. Kalau kita manusia melakukan suatu kegiatan, seringkali semampunya saja. Padahal ketika melakukan sesuatu, kadang kita mengeluarkan tenaga, mungkin juga berfikir bagaimana melaksanakannya, mungkin juga harus mengeluarkan uang. Namun karena di dalam hati niat melakukannya itu seenaknya, maka hasil yang dicapaipun menjadi seenaknya. Berbeda ketika kita melakukan pekerjaan dengan niat untuk mencari hasil yang terbaik, sama-sama mengeluarkan tenaga, biaya, dan penalaran, namun karena dilandasi dengan niat untuk mencapai yang terbaik ahsin, maka hasilnyapun menjadi yang terbaik. Manusia selalu ingin karyanya dihargai. Kalau itu yang diinginkan, tampaknya kita perlu bersikap seperti yang dilakukan Allah, bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti ada manfaatnya, pasti membawa sesuatu yang berfaedah bagi makhluk-Nya. Mengapa bagi makhluk-Nya? Karena Allah tidak memerlukan sesuatu, Allah tidak memerlukan apa-apa. Yang dilakukan Allah adalah untuk kepentingan makhluk-Nya, terutama manusia. Sehingga, ketika kita menghayati Keesaan Allah dalam penciptaan, maka hanya Allah yang dapat melakukan segala sesuatu dengan tanpa sia-sia. Rabbana maa khalaqta haaza baathila, maksudnya adalah bahwa apapun yang dilakukan Allah, apapun yang yang diciptakan oleh Allah, pasti akan memberikan nilai tambah bagi manusia. Ini keesaan Allah. Dan kewajiban kita adalah meniru apa yang dilakukan oleh Allah. Yang pasti kita tidak dapat menyamai-Nya, walam ya kullahu kufuwan ahad tidak ada satupun yang dapat menyamai Allah-dalam segala halnya, namun yang dapat kita lakukan hanyalah meniru-Nya. Kalau Allah menciptakan sesuatu adalah selalu memiliki manfaat dan tujuan, kitapun bisa melakukan itu apabila disertai keinginan untuk melakukan dengan yang terbaik, karena sesuatu yang terbaik akan memberikan manfaat. Dalam bahasa teologinya disebut bahwa pengiriman Rasul itu merupakan “nazhariyatusshalah wal ashlah” yang artinya “teori kebaikan dan yang terbaik”, maksudnya adalah bahwa yang dilakukan oleh Allah kepada makhluk-Nya itu adalah sesuatu yang baik dan terbaik. Sehingga setiap makhluk mesti diberi sarana untuk menjadikan dirinya baik dan terbaik. Makhluk yang lemah dan tak memiliki pertahanan diri yang dapat diandalkan ternyata diberi kemampuan lain. Misalnya, kijang tidak mempunyai pertahanan diri, tapi dia diberi kemampuan bisa lari cepat. Ini adalah untuk kebaikan makhluk itu sendiri. Cumi-cumi tidak dapat menentang predator hewan pemangsa, maka dia diberi kemampuan bisa mengeluarkan cairan hitam yang bisa membuat gelap, sehingga dia bisa menyelamatkan diri. Manusiapun begitu. Bahkan kelengkapan dan kebaikan yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah merupakan sesuatu yang komprehensif menyeluruh, dari tangan, kaki, akal , pendengaran, penciuman, dan sebagainya, yang semuanya bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia. Maa khalaqta haaza bathila, untuk apa penciptaan Allah yang luar biasa itu? Semuanya adalah ditujukan untuk manusia. Sehingga kita layak menyikapi apa yang ada di sekitar kita, bahwa itu semua adalah ciptaan Allah yang harus kita hayati, kita sikapi, dan kita respon dengan bijaksana. Sehingga kita tidak terlanjur menyikapi dengan sembrono, yang pada akhirnya dapat menyebabkan sesuatu yang salah. Pada saat Rasulullah telah dipastikan sebagai insan pilihan, sebagai manusia yang selalu berjalan dalam kebenaran, mendapat wahyu yang berasal dari Allah, itupun beliau tidak boleh sembarangan. Surat Yaasin mengungkapkan Yaasin, wal quranil hakim Yaasin, Demi Qur’an yang penuh dengan ajaran-ajaran dengan kebijaksanaan. Innaka laminal mursalin Sesungguhnya engkau ya Muhammad adalah benar-benar dari kelompok yang dipilih Tuhan menjadi Rasul yang diutus. Ala shiratal mustaqim Yang pasti berada pada jalan yang benar. Tanziilal azizirrahim Yang mendapat wahyu turun dari Allah. Walaupun sebagai seorang Rasul, tapi tidak boleh berdakwah semaunya. Bagaimana berdakwah? Seperti yang ada di dalam Al-Qur’an, yaitu “hakim”, “hikmah”, kebijaksanaan. Ada ungkapan, qulil haqqa walaukaana murran katakanlah yang benar walaupun itu pahit. Tapi menurut Al-Qur’an tidak begitu. Kalau Al-Qur’an ajarannya adalah seperti yang tersebut pada Surat Al-Baqarah “wakuulu linnaasi husna”, artinya “berbicaralah pada manusia-manusia orang-orang di sekitarmu dengan cara yang terbaik,” maksudnya adalah menyampaikan sesuatu kebenaran dengan nuansa kebaikan. Kalau ingin mengatakan yang benar, bagaimana ungkapan yang benar tersebut dapat diinformasikan dengan cara yang baik dan benar pula, sehingga tidak menyakitkan. Karena kalau “qulil haqqa walaukaana murran” katakanlah yang benar walaupun itu menyakitkan. Tapi kalau dalam Al-Qur’an tidak seperti itu. Sebab kalau sesuatu yang benar disampaikan dengan cara yang keras, maka orang-orang akan lari. Ayat Al-Qur’an juga mengisyaratkan itu “fabima rahmatin min rabbika lintalahum walau kunta fardhan ghalizal qalbi lan fazlu min haulik” maka dengan rahmat Allah, anugerah Allah, yang dikaruniakan kepadamu, hendaknya kamu bersikap lemah-lembut, walaupun yang kamu sampaikan itu benar tapi kalau menyampaikannya dengan cara yang keras dan kaku, maka orang-orang akan lari. Apa saja yang diciptakan Allah ternyata untuk kebaikan manusia. Walaupun apa yang dilakukan Allah itu benar dan bermanfaat, tapi apabila tidak disikapi secara bijak, justru akan menyebabkan munculnya kebencian. Mungkin ada di antara umat Islam yang kurang memperhatikan ini, sehingga kalau menyampaikan kebenaran justru menimbulkan kebencian orang lain. Maka mungkin kita harus menyikapi dengan “fabima rahmatin min rabbika lintalahum”, bersikap lemah-lembut. Jika mengajak kepada kebaikan dan memberantas kemungkaran, bagaimana melaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah, yaitu dengan cara yang lembut, sehingga tidak menimbulkan kebencian. Wal qur’anil hakim demi Al-Qur’an yang di dalamnya penuh dengan ajaran-ajaran yang bijaksana. Ternyata Al-Qur’an itu ajarannya penuh dengan kebijakan-kebijakan. Sehingga sebenarnya itulah tujuan Allah menciptakan hal-hal yang ada di sekitar kita. Itulah tujuan Allah dalam mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya, yang kemudian menjadi imaman pedoman, wa nuuran, wa hudan, wa rahmah. Dan yang jangan dilupakan adalah “wa rahmah” dan rahmat, maksudnya adalah bahwa Al-Qur’an itu dapat menjadi hal-hal yang menimbulkan kasih sayang. Dari kata “rahmat” muncul Ar-Rahman Ar-Rahim yang artinya kasih sayang. Sehingga apa yang dilakukan Allah Swt betul-betul merupakan keesaan-Nya, yang semuanya ditujukan untuk membangkitkan kebaikan-kebaikan, kasih sayang-kasih sayang di antara kita sesama makhluk-Nya. Apabila ini dapat kita hayati, maka pasti akan menimbulkan dorongan pada diri kita. Mengapa saya tidak melakukan yang terbaik, kalau yang burukpun memerlukan tenaga, sama-sama lelahnya. Karena itu, mungkin seperti Allah Swt yang tidak pernah membenci makhluk-Nya, walaupun makhluk-Nya ingkar, tapi Allah selalu membuka pintu taubat, karena menginginkan kebaikan bagi makhluk-Nya. Inilah keesaan Allah dalam perbuatan-Nya. Atau “at-tauhiid fi af’al”. [] Disarikan dari Pengajian Tauhid yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, pada tanggal 12 Juni 2007 di Masjid Agung Sunda Kelapa-Jakarta. Transkriptor Hanafi Mohan. Entry filed under Akidah Akhlak, Islamika. Tags akhlak, tauhid. Sifatdan Af 'al Allah. Sifat dan perbuatan atau af'al Allah terangkun di dalam Asma` al-Husna yakni nama-nama Allah yang indah. Asma` al-Husna atau nama-nama Allah yang indah dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, kelompok nama-nama Allah yang menggambarkan kelembutan, kesantunan, cinta dan kasih sayang. TAUHIDUL AF’AL, ASMA, SIFAT DAN DZATInilah pelajaran tentang TAUHIDUL AF’AL, TAUHIDUL ASMA, TAUHIDUSSIFAT DAN TAUHIDUL AF’ALMENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA PERBUATAN Dalam pelajaran atau pengajian-pengajian yang terdahulu mungkin kita sudah mendapatkan pelajaran bahwa selain untuk membersihkan hati juga kita mempunyai titik tujuan pelajaran dan ilmu Thoriqat tasawuf yaitu adalah menuju jalan kembali kepada Allah dan supaya wusul dan liqo/ bertemu Allah. Maka bagi seorang salik/ penuntut haruslah dimulai dengan mempelajari dan mengamalkan tauhidul af’al, artinya meng esakan Allah Ta’ala pada segala perbuatan. Yakni meninggalkan seluruh perbuatan yang ada pada makhluk ini kepada Allah. Maksudnya pandanganlah olehmu dengan syuhud hati dan dengan mata kepala dengan itikad yang putus dan dengan haqqul yakin, bahwa segala perbuatan dan gerakan yang ada terlihat dalam alam ini, baik yang datang dari diri kita sendiri maupun yang datang dari semua mahluk yang ada dalam alam ini , baik perbuatan yang diridhoi oleh syara' maupun yang dilarang oleh syara' adalah kesemuanya itu perbuatan Allah Ta’ itu perbuatan Allah , maka kalau kita lihat pada lahirnya segala perbuatan itu dilakukan oleh manusia/hamba dan segala hayawan dan lain-lain sebagainya. Tetapi namun kita teliti dengan cermat dan dengan penuh keyakainan dan dengan tinjauan akal, dengan seksama bahwasanya memang mahluk ini lemah, dhaif, hina tak punya daya upaya sama sekali. Dan tidak punya sifat ta’sir dan sebagainya. Sedangkan segala pebuatan itu tidak akan ada kalau sifat yang memperbuat itu tidak memiliki sifat-sifat tsb. Sifat-sifat ta’sir itu ialah Qudrat, Iradat, ilmu, hayat sedang semua sifat-sifat itu ialah kepunyaan dan milik Allah. Jadi segala perbuatan yang ada terlihat pada alam ini dan diri kita, itulah perbuatan mazazi namanya dan bukan hakiki. Itu adalah kenyataan perbuatan Allah kepada menyandarkan perbuatannya kepada kita, adalah tanda kasih sayangnya, supaya kita punya titik dan penempatan mengenal perbuatan Allah dan ASMA MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA ASMAMaksud dan tujuan meng esakan Allah Ta’ala pada nama yaitu yang sebenarnya ialah untuk mengenal dzat Allah, sehingga manakala kita memandang,mendengar,atau melihat nama apapun jua pada mahluk ini,maka tercurahlah pandangan basyirah kita dan perhatian kita kepada Allah Adapun pengertiaan meng esakan asma itu ialah menyatukan,meninggalkan,dan mengembalikan seluruh nama-nama atau nama-nama yang ada pada mahluk ini kepada nama dan dzat Allah Ta’ala. Baik nama-nama yang menurut hikmah dan manfa’at daripada benda alam ini ataupun nama-nama menurut perbuatan mahluk ini. yang disebut dengan nama perbuatan atau asmaul af’al. Sekira-kira dalam pandangan basyirah hati kita tidak ada yang bernama kecuali Allah. Jadi nama-nama ini tidak terbatas kepada asmaul husna saja, tetapi lebih luas dan lebih mendalam sekali atau tak dapat dihinggakan. Bermula kafiat meng Esakan Allah Ta’ala pada asma itu, yaitu kita pandang dengan mata kepala dan dengan mata hati kita pada asma Allah semata. Atau harus dikembalikan kepada Allah Ta’ala dengan dalil-dalil dan alasan sebagai berikut i. Karena af’al mahluk adalah mazhar dan kenyataan perbuatan Allah. Maka begitu juga asma mahluk adalah mazhar asma Allah yang tujuannya adalah untuk mengenal Tiap-tiap nama menuntut ujud sama, yakni tiap-tiap nama tidak terpisah dengan dzat yang empunya nama. Sedangkan kalau diperiksa dengan teliti dan dipandang dengan pandangan ma’rifat,maka tidak ada yang maujud pada hakikatnya kecuali dzat Allah Ta’ SIFATMENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA SEGALA SIFATMaksudnya meng Esakan Allah Ta’ala pada segala sifat ialah megembalikan, meninggalkan seluruh sifat-sifat yang ada pada mahluk ini kedalam sifat-sifat Allah dengan pengertian yaitu memfanakan sifat-sifat mahluk ini,kedalam sifat-sifat Allah Ta’ala sehingga tercapailah pandangan,bahwa tidak ada yang bersifat kecuali Allah Ta’ala tujuannya adalah untuk ma’rifat kepada Allah,sedangkan sifat-sifat yang ada pada mahluk ini adalah nyata sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan sengaja Allah zahirkan sifat-sifatnya itu kepada hambanya atau mahluknya, karena rahmatnya supaya mahluk itu sendiri mempunyai tangga dan jembatan untuk mengenal sifat-sifat Allah. Dan bukan jadi dinding dan hijab untuk melihat sifat-sifat kaifiat dan cara memandang sifat Allah itu ialah Engkau pandang dengan mata hatimu dan dengan mata zahirmu dengan haqqul yakin dan dengan itiqad yang putus, bahwasanya tidak ada yang bersifat di dalam alam ini kecuali Allah. Seperti qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama, basyar dan kalam. Semuanya adalah sifat-sifat sifat-sifat yang ada pada mahluk ini adalah sifat-sifat mazazi belaka, bukan hakiki. Maka daripada itu nyatalah kepada kita bahwa sifat-sifat yang ada pada kita sekarang ini adalah nyata sifat-sifat Allah semata. Kalau kita sudah mengembalikan sifat-sifat yang ada pada kita itu kepada Allah, niscaya fanalah sifat-sifat kita itu kepada sifat-sifat tidak ada lagi yang bersifat,kecuali Allah. Jadi jelaslah sudah kepada kita bahwa kita ini tidak punya perbuatan,tidak punya nama dan tidak punya sifat kecuali Allah. DZATMENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA DZATMeng Esakan Allah Ta’ala pada dzat adalah jalan yang terakhir dari perjalan seorang salik. Disnilah titik terahir bagi arif billah untuk menuju Allah dan disini perhentian perjalanan kaum sufi dan para wali-wali disinilah batasnya mi’rojnya orang-orang mukmin sejati. Apabila sudah mencapai kepada makam tauhidul dzat itu, maka diperolehnya kelezatan dan kenikmatan yang tiada dengan itulah yang dapat memuaskan dahaga jiwanya menenangkan qolbunya,nikmat-nikmat yang tak dapat diperoleh orang lainnya. Inilah puncak rasa menikmati ridhonya , puncak kebahagiaan yang kekal dan abadi sepanjang masa. Sumber dari Haris Haris / THORIQAT NAQSYABANDIYAH About roslanTv Tarekat Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis autem vel eum iriure dolor in hendrerit in vulputate velit esse molestie consequat, vel illum dolore eu feugiat nulla facilisis at vero eros et accumsan et iusto odio dignissim qui blandit praesent luptatum zzril delenit augue duis. . 43 333 161 417 58 325 265 226

contoh af al allah